Monday, December 12, 2011

PENGORBANAN LUAR BIASA SEORANG BAPAK TUA


Hari itu, selepas magrib aku berencana pergi ke angkringan Satari yang terkenal enak dan ramai pengunjung di ujung jalan Magelang untuk membeli nasi kucing. Rintik hujan di luar tidak membuatku gentar, aku nekat menerobos hujan tanpa mantel, tanpa payung. Tak peduli jika badanku basah oleh air hujan, toh belum mandi juga, pikirku. 
Kepadatan lalu lintas di jalan raya Jogja Magelang selepas magrib dan air hujan yang turun malam itu, membuat jalanan terlihat samar-samar, ditambah pula mataku yang memang sudah minus. Aku berhenti di depan toko oleh-oleh khas Jogja, menunggu jalanan sepi untuk menyeberang jalan. Samar kulihat dari kejauhan,  seorang wanita berpakaian putih menggenakan paying merah berjalan mendekat ke arahku. Ternyata bu Dar tetanggaku pemilik rumah gedong di samping toko oleh-oleh khas Jogja, beliau baru saja pulang dari masjid. Kami hanya bertatapan kemudian tersenyum, bu Dar pun melanjutkan perjalanannya.
Jalanan masih saja padat, lelah sekaligus bosan menunggu terlalu lama, membuatku hampir putus asa. Ku lirik spion sebelah kiri, mengecek apakah jalanan sudah mulai sepi, ternyata belum. Iseng-iseng kulirik spion sebelah kanan, ku lihat dari pantulan kacanya bu Dar berhenti di sudut toko oleh-oleh khas Jogja. Terlihat di sana, beliau sedang berbincang dengan seseorang. Aku menengok ke belakang, ku lihat 2 buah meja kayu berukuran sedang disambungkan dengan bambu coklat yang panjangnya kira-kira 1 meter yang berfungsi sebagai pikulan untuk membawa meja tersebut. Kemudian ku lirik seseorang di samping meja-meja yang sedang berbincang dengan bu Dar. Sosok lelaki tua berbaju dan bercelana pendek sedang meringkuk kedinginan memegangi kedua lututnya. Terlihat jelas guratan lelah di wajahnya. Cukup lama aku memandangi mereka berdua bercakap-cakap, namun aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku melihat bu Dar menunjuk rumahnya dan si bapak tua hanya mengganguk-anggukan kepala, Bu Dar kemudian meninggalkannya. Setelah bu Dar pergi, mbak pemilik salon di samping toko oleh-oleh keluar membawakan segelas teh dan makanan ringan, bapak tua itu terlihat senang menerimanya.
Seketika itu jalanan terlihat sepi, aku segera menyebrang jalan menuju angkringan meninggalkan bapak tua dan mbak pemilik salon. Sesampainya di angkringan pikiranku masih terbayang bapak tua yang kedinginan tadi, pasti bapak itu lapar, maka kuambil sebungkus nasi bungkus, gorengan dan teh hangat  kumasukkan ke dalam kresek hitam.
Sepulang dari angkringan aku menuju berhenti di depan toko oleh-oleh tempat bapak tua tadi berteduh. Hujan yang tadinya turun rintik-rintik kini menjadi semakin deras, aku tak peduli ketika badanku sudah mulai basah kuyup dan menggigil. Ku hampiri bapak tua itu “Rumahnya mana, Pak?” tanyaku sambil tersenyum.  
“Bagaimana mbak? Saya dari GunungKidul"
“Jualan ini Pak?” tanyaku sambil menunjuk dua meja di sampingnya.
“Iya Mbak. Saya jualan meja ini tapi belum laku-laku dari kemarin”
"Naik apa Pak sampai ke Sleman?", aku duduk di samping bapak tua itu.
 "Jalan kaki saja mbak. Dua hari saya jalan kaki dari GunungKidul mbak."
 Aku terperanjat, kaget, tak bias kubayangkan, lelaki setua ini berjalan kaki 2 hari menjajakan 2 buah meja yang dipikulnya dari Gunung Kidul sampai Sleman.
“Ini mau pulang ke Gunung Kidul Pak?"
Kupikir Bapak tua itu akan pulang ke Gunung Kidul naik bis karena malam sudah larut dan hujan turun cukup deras. Tapi jawabannya kali ini kembali membuatku terperanjat dan trenyuh.
“ Tidak mbak, saya pulang ke Gunung Kidul kalau meja ini sudah laku. Anak saya minta uang terus mau buat bayar SPP. Sudah telat beberapa bulan mbak SPPnya.”
"SD, SMP atau SMA Pak?"
"STM mbak"
"Sekolah di mana Pak? "
"Di Wonosari sana Mbak"
Semakin lama mendengar ucapan bapak tua itu semakin membuat ku tak kuat. Bahkan aku hampir lupa dengan nasi dan the hangat yang ku siapkan untuk bapak tua ini.
"Sudah makan Pak?"
"Ya belum mbak, ini saja dua hari tidak laku-laku, mau makan darimana”
“Ini ada nasi dan teh Pak”
“Waduh, terimakasih banyak mbak, terimakasih sekali”
“Iya tidak apa-apa Pak”
“Mejanya dijual berapa Pak?” iseng-iseng aku bertanya, siapa tau harganya murah, bisa ku beli untuk membantu Bapak tua ini.
“Satunya 150 ribu Mbak.”
“Nanti mau bermalam di mana Pak?”
“Ya ini nanti nunggu hujan reda Mbak. Kalau sudah reda nanti ke utara atau tidur di sini juga tidak apa-apa. Seadanya saja Mbak.”
            Ya Allah, mendengar ucapan bapak tua itu membuatku benar-benar merinding. Pengorbanannya berjalan berkilo-kilo meter, berhari-hari, tanpa bekal, rela kedinginan, rela tidur di mana saja, semua itu dilakukan untuk anaknya, agar terus dapat menuntut ilmu. Ku keluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah, uang yang ku punyai hasil  berjualan di kantin kejujuran kampus.
“Pak, ini ada sedikit rezeki. Dibawa saja kalau nanti Bapak butuh beli apa-apa.”
“Terimakasih Mbak, terimakasih sekali. Sembah Nuwun”
“Saya pulang dulu Pak, saya doakan semoga mejanya segera laris”
“Amin Mbak, saya doakan juga semoga Mbaknya diberi kelancaran sekolahnya”
“Amin. Amin, Terimakasih Pak”
Tak terasa airmata mulai menggenangi pipi, tersentuh dengan perjuangan bapak tua itu. Ku tinggalkan bapak tua itu, derasnya hujan tak lagi ku hiraukan.
Hari itu, aku belajar tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan seorang bapak untuk anaknya. Rela berjalan berpuluh-puluh kilo, rela tidak pulang, rela tidak makan, rela tidur di mana saja, rela kedinginan di bawah hujan. Sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk kita, pengorbanan orang tua yang begitu besar seringkali tidak kita sadari. Mereka bekerja membanting tulang siang dan malam, sedangkan kita terkadang masih sering mengecewakan dan menyakiti hatinya.
Terimakasih Tuhan, telah mempertemukanku dengan bapak tua itu, ini adalah caraMu menyadarkanku yang terkadang tidak puas dengan apa yang telah Kau beri untukku, yang terkadang masih mengecewakan ayahku. Terimakasih untuk pelajaran yang teramat berharga ini, semoga aku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Amin 


NURUL HIDAYAH
PENDIDIKAN IPA FMIPA UNY
hidayah.nurul06@gmail.com








                                                                                                             

1 comment:

  1. Subhanallah pengalaman yang mengesankan ya mbak.
    Dari cerita ini saja saya sudah merinding apalagi kalo saya merasakan sendiri bertemu langsung dengan bapak tua itu.
    Terimakasih sudah membagikan pengalamannya mbak :)
    Salam kenal.

    ReplyDelete