Hari itu,
selepas magrib aku berencana pergi ke angkringan Satari yang terkenal enak dan
ramai pengunjung di ujung jalan Magelang untuk membeli nasi kucing. Rintik
hujan di luar tidak membuatku gentar, aku nekat menerobos hujan tanpa mantel,
tanpa payung. Tak peduli jika badanku basah oleh air hujan, toh belum mandi
juga, pikirku.
Kepadatan
lalu lintas di jalan raya Jogja Magelang selepas magrib dan air hujan yang
turun malam itu, membuat jalanan terlihat samar-samar, ditambah pula mataku
yang memang sudah minus. Aku berhenti di depan toko oleh-oleh khas Jogja,
menunggu jalanan sepi untuk menyeberang jalan. Samar
kulihat dari kejauhan, seorang wanita
berpakaian putih menggenakan paying merah berjalan mendekat ke arahku. Ternyata
bu Dar tetanggaku pemilik rumah gedong di samping toko oleh-oleh khas Jogja,
beliau baru saja pulang dari masjid. Kami hanya bertatapan kemudian tersenyum,
bu Dar pun melanjutkan perjalanannya.
Jalanan masih
saja padat, lelah sekaligus bosan menunggu terlalu lama, membuatku hampir putus
asa. Ku lirik spion sebelah kiri, mengecek apakah jalanan sudah mulai sepi,
ternyata belum. Iseng-iseng kulirik spion sebelah kanan, ku lihat dari pantulan
kacanya bu Dar berhenti di sudut toko oleh-oleh khas Jogja. Terlihat di sana, beliau sedang
berbincang dengan seseorang. Aku menengok ke belakang, ku lihat 2 buah meja
kayu berukuran sedang disambungkan dengan bambu coklat yang panjangnya
kira-kira 1 meter yang berfungsi sebagai pikulan untuk membawa meja tersebut. Kemudian
ku lirik seseorang di samping meja-meja yang sedang berbincang dengan bu Dar.
Sosok lelaki tua berbaju dan bercelana pendek sedang meringkuk kedinginan
memegangi kedua lututnya. Terlihat jelas guratan lelah di wajahnya. Cukup lama
aku memandangi mereka berdua bercakap-cakap, namun aku tak bisa mendengar apa
yang mereka bicarakan. Aku melihat bu Dar menunjuk rumahnya dan si bapak tua
hanya mengganguk-anggukan kepala, Bu Dar kemudian meninggalkannya. Setelah bu
Dar pergi, mbak pemilik salon di samping toko oleh-oleh keluar membawakan
segelas teh dan makanan ringan, bapak tua itu terlihat senang menerimanya.
Seketika itu jalanan
terlihat sepi, aku segera menyebrang jalan menuju angkringan meninggalkan bapak
tua dan mbak pemilik salon. Sesampainya di angkringan pikiranku masih terbayang
bapak tua yang kedinginan tadi, pasti bapak itu lapar, maka kuambil sebungkus
nasi bungkus, gorengan dan teh hangat kumasukkan
ke dalam kresek hitam.
Sepulang dari
angkringan aku menuju berhenti di depan toko oleh-oleh tempat bapak tua tadi berteduh.
Hujan yang tadinya turun rintik-rintik kini menjadi semakin deras, aku tak
peduli ketika badanku sudah mulai basah kuyup dan menggigil. Ku hampiri bapak
tua itu “Rumahnya mana, Pak?” tanyaku sambil tersenyum.
“Bagaimana mbak? Saya dari
GunungKidul"
“Jualan ini Pak?” tanyaku sambil
menunjuk dua meja di sampingnya.
“Iya Mbak. Saya jualan meja ini
tapi belum laku-laku dari kemarin”
"Naik apa Pak sampai ke
Sleman?", aku duduk di samping bapak tua itu.
"Jalan kaki saja mbak. Dua hari saya
jalan kaki dari GunungKidul mbak."
Aku terperanjat, kaget, tak bias kubayangkan,
lelaki setua ini berjalan kaki 2 hari menjajakan 2 buah meja yang dipikulnya
dari Gunung Kidul sampai Sleman.
“Ini mau pulang ke Gunung Kidul
Pak?"
Kupikir Bapak
tua itu akan pulang ke Gunung Kidul naik bis karena malam sudah larut dan hujan
turun cukup deras. Tapi jawabannya kali ini kembali membuatku terperanjat dan
trenyuh.
“ Tidak mbak, saya pulang ke
Gunung Kidul kalau meja ini sudah laku. Anak saya minta uang terus mau buat
bayar SPP. Sudah telat beberapa bulan mbak SPPnya.”
"SD, SMP atau SMA Pak?"
"STM mbak"
"Sekolah di mana Pak? "
"Di Wonosari sana Mbak"
Semakin lama
mendengar ucapan bapak tua itu semakin membuat ku tak kuat. Bahkan aku hampir
lupa dengan nasi dan the hangat yang ku siapkan untuk bapak tua ini.
"Sudah makan Pak?"
"Ya belum mbak, ini saja
dua hari tidak laku-laku, mau makan darimana”
“Ini ada nasi dan teh Pak”
“Waduh, terimakasih banyak mbak,
terimakasih sekali”
“Iya tidak apa-apa Pak”
“Mejanya dijual berapa Pak?”
iseng-iseng aku bertanya, siapa tau harganya murah, bisa ku beli untuk membantu
Bapak tua ini.
“Satunya 150 ribu Mbak.”
“Nanti mau bermalam di mana
Pak?”
“Ya ini nanti nunggu hujan reda
Mbak. Kalau sudah reda nanti ke utara atau tidur di sini juga tidak apa-apa.
Seadanya saja Mbak.”
Ya
Allah, mendengar ucapan bapak tua itu membuatku benar-benar merinding.
Pengorbanannya berjalan berkilo-kilo meter, berhari-hari, tanpa bekal, rela
kedinginan, rela tidur di mana saja, semua itu dilakukan untuk anaknya, agar
terus dapat menuntut ilmu. Ku keluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar
rupiah, uang yang ku punyai hasil
berjualan di kantin kejujuran kampus.
“Pak, ini ada sedikit rezeki.
Dibawa saja kalau nanti Bapak butuh beli apa-apa.”
“Terimakasih Mbak, terimakasih
sekali. Sembah Nuwun”
“Saya pulang dulu Pak, saya
doakan semoga mejanya segera laris”
“Amin Mbak, saya doakan juga
semoga Mbaknya diberi kelancaran sekolahnya”
“Amin. Amin, Terimakasih Pak”
Tak terasa
airmata mulai menggenangi pipi, tersentuh dengan perjuangan bapak tua itu. Ku
tinggalkan bapak tua itu, derasnya hujan tak lagi ku hiraukan.
Hari itu, aku
belajar tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan seorang bapak untuk anaknya.
Rela berjalan berpuluh-puluh kilo, rela tidak pulang, rela tidak makan, rela
tidur di mana saja, rela kedinginan di bawah hujan. Sebuah pelajaran yang
sangat berharga untuk kita, pengorbanan orang tua yang begitu besar seringkali
tidak kita sadari. Mereka bekerja membanting tulang siang dan malam, sedangkan
kita terkadang masih sering mengecewakan dan menyakiti hatinya.
Terimakasih
Tuhan, telah mempertemukanku dengan bapak tua itu, ini adalah caraMu
menyadarkanku yang terkadang tidak puas dengan apa yang telah Kau beri untukku,
yang terkadang masih mengecewakan ayahku. Terimakasih untuk pelajaran yang
teramat berharga ini, semoga aku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Amin
NURUL HIDAYAH
PENDIDIKAN IPA FMIPA UNY
hidayah.nurul06@gmail.com
Subhanallah pengalaman yang mengesankan ya mbak.
ReplyDeleteDari cerita ini saja saya sudah merinding apalagi kalo saya merasakan sendiri bertemu langsung dengan bapak tua itu.
Terimakasih sudah membagikan pengalamannya mbak :)
Salam kenal.