Monday, December 12, 2011

The Brother Ton



Kehidupan itu ibarat sebuah sekolah tempat melakukan pembelajaran-pembelajaran dan perbaikan-perbaikan. Sekolah hanya akan melahirkan lulusan terbaik jika para siswanya mau belajar dengan sungguh-sungguh dan benar-benar mau menilik segala sisi positif dari hidupnya. Ia yang mampu bangkit pada posisi paling sulit, kegagalan paling hebat.
(Fathelvi Mudaris dalam “Untukmu, Wahai Para Pemenang!”, dikutip dari www.eramuslim.com)
Rumahku sederhana, di desa Sruweng Kabupaten Kebumen. Jauh dari keramaian, sunyi, dan sejuk. Banyak pepohonan di sekeliling rumahku. Bapak memang hobi berkebun, bertani, dan beternak. Ada banyak pohon, buah dan sayuran. Mamak jarang beli sayuran, tinggal memetik di belakang rumah. Ada bayam, terong, pare, dan masih banyak yang lain.
Di desaku, banyak yang jadi buruh di pabrik Pak Haji dengan gaji sekitar Rp 15.000/hari dari pukul 07.00 WIB sampai 16.00 WIB. Orang-orang memanggil Pak Haji karena beliau sudah naik haji lima kali. Pabrik gentengnya lebih dari sepuluh. Di desaku, memang banyak yang punya pabrik genteng karena tanah di daerah kami mengandung lempung (tanah liat) yang sangat baik untuk membuat genteng/batu bata. Ada yang pabriknya cuma satu, sehingga untung yang didapat hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang bangkrut di tengah jalan. Ada juga yang sukses sampai bisa membeli truk. Nah, Pak Haji itulah salah satu pengusaha genteng paling sukses di desaku. Para pemuda/pemudi yang sudah habis kontrak di Jakarta atau yang kena PHK biasanya juga jadi buruh Pak Haji, tidak ada pilihan lain.

Bapak mamak agak berbeda dari orang kebanyakan. Mamak tidak jadi buruh Pak Haji. Ia lebih fokus mengurus rumah tangga. Gaji pensiunan bapak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bapak yang hobi bertani, dua kali setahun panen padi, bisa untuk tambahan biaya kuliah.
Bapak mamak ingin aku dan kakakku, Mas Tono, sekolah tinggi agar tidak menjadi buruh Pak Haji. Bahkan, Bapak tak mengijinkan kami membantu bekerja di sawah belakang rumah. Mamak bilang, “Ngko sikilmu gatel-gatel, dadi ora mulus.” Sampai dewasa, kami tak pernah membantu bertani. Apalagi Mas Tono, kakakku itu tidak biasa bekerja kasar karena bapak mamak berharap dia jadi pegawai kantoran.
Aman Hartono, nama panjang kakakku. Meski berparas tampan, kakakku bukan tipe lelaki yang suka pacaran, apalagi sampai gonta-ganti pasangan. Meski terlihat sangar, sebenarnya dia pemalu, terutama kepada kaum hawa. Saat berhadapan dengan mereka, Mas Tono lebih banyak diam. Sehingga, mereka menganggap Mas Tono cowok cool
Karena sifatnya yang baik dan setia kawan, Mas Tono memiliki banyak teman. Saat berkumpul bersama mereka, kakakku juga tidak banyak bicara. Dan jika terjadi konflik, ia selalu mengalah, tak ingin menyakiti siapapun. Meski seseorang menyakiti, kakakku tidak akan membalas perbuatan orang itu. Sakit yang ia rasakan dipendam sendiri dalam hati. Jarang dia berbagi beban pikiran dengan keluarga, kecuali mamak.
Selama aku SMA, Mas Tono mengantarku berangkat sekolah menggunakan Tiger kesayangannya. Pulang sekolah kadang dijemput, kadang naik angkot. Tapi, setengah tahun sebelum lulus SMA, kakakku tidak bisa lagi mengantar sekolah. Dia mengalami depresi teramat dalam hingga kehilangan gairah hidup. Setiap hari kakakku melamun, pandangan kosong, pikiran melayang jauh. Ketika aku mengajaknya bicara, ia diam saja. Aku yakin dia mendengar, tapi lidahnya tak mampu bergerak. Mungkin Mas Tono sangat lelah menahan beban hidup yang teramat berat.
Pernah aku marah padanya karena dia tak menghiraukanku bicara. Lalu dia berkata pelan padaku, “Aku sudah gak punya hati Nick, hatiku hilang.” Aku menangis. Meski tak tahu apa maksud kalimat itu, tapi aku tak tahan menatap matanya yang redup. Kakakku masih hidup, tapi jiwanya telah mati. Aku merindukan saat dia meledekku habis-habisan karena ketahuan dapat surat cinta. Juga saat dia meyakinkanku ketika pertama kali aku memakai jilbab. Yang paling melekat ingatan adalah masa kecil yang ku lewati bersamanya…. Aku tak tahan terus melihatnya seperti itu.
Semua ini berawal pada malam pertama aku masuk kelas tiga SMA. Mas Tono bilang kepalanya sakit seperti dipukul palu hingga pecah. Mamak menenangkan dan memijat-mijat kepala kakakku dengan penuh kasih dan air mata yang tertahan. Sedangkan bapak meminta bantuan Pak Mansyur, guru ngajiku, untuk datang mendoakan kakakku. Mereka bingung, panik, dan terus berusaha menenangkan Mas Tono yang terus meraung kesakitan. Ku lihat bapak membantu Pak Mansyur memegang kepala Mas Tono sambil membacakan doa-doa. Sementara itu, mamak terus membaca Al-Qur’an dengan suara terisak. Tak lama kemudian, kakakku terlelap tidur. Apa dia benar-benar tidur? Atau pingsan? Aku tak tahu apa-apa.
Sejak kejadian malam itu, aku jarang sekali melihat keluargaku tersenyum, terutama mamak. Sedangkan kakakku diam menyendiri di kamar pengapnya. Tak mau ganti baju, rambut berantakan, kulit kusam. Saat ku dekati, bau tak sedap menyengat dari tubuhnya.. Kakakku yang ganteng sudah tak mau mandi.
“Mas, mandi, biar seger.” Kataku membujuknya.
Tapi, dia tak menghiraukan keberadaanku. Pernah aku memaksanya bicara, tapi kakakku malah membentak keras,
“Diam! Mau aku pukul kamu hah?!” Tubuhku lemas seketika. Kakakku yang tak pernah berkata kasar, kini membentakku.
Aku sering memergoki mamak duduk sendiri dengan air mata yang meleleh di pipi keriputnya. Suatu hari, aku mencoba mendekati mamak yang tengah duduk termenung sendiri.
“Mak, sebenarnya kenapa sih, kok Mas Tono jadi seperti itu?” Kataku pelan. Mamak mulai bercerita panjang lebar, kisah kakakku yang malang. Rupanya mamak ingin meluapkan beban yang ia rasakan.
“Waktu TK dulu, Mas Tono tak mau sekolah kalau tidak ditunggui. Mamak harus duduk di sebelah Mas Tono seperti anak TK, mendengarkan guru mengajar. Kalau Mamak pergi, Mas Tono nangis, tak mau mengikuti pelajaran. Bapak khawatir Mas Tono tidak bisa mandiri seperti anak-anak yang lain. Bapak menyuruh Mamak meninggalkan Mas Tono sendiri di kelas. Bapak bilang Mamak harus tega demi kebaikan Masmu. Meski khawatir, Mamak menuruti kemauan Bapak. Seperti biasa Mamak duduk di sebelah Mas Tono, terus Mamak mau beli obat sebentar di warung dekat sekolah dan akan kembali lagi. Setelah dibujuk secara halus, Mas Tono mengijinkan Mamak pergi. Baru sebentar Mamak di warung, tukang kebun sekolah memanggil Mamak. Katanya, Mas Tono meraung-raung histeris karena Mamak pergi. Para guru, siswa, dan ibu-ibu yang juga menunggu anaknya kebingungan mencari Mamak. Sejak saat itu, Mamak tak bisa lagi meninggalkan Masmu sendiri.”
“Sekolah SD juga masih seperti itu Mak?”
“Beruntung ada si Haris.”
“Mas Haris tetangga kita itu?”
“Iya. Saat kelas satu dan dua, Mas Tono masih tak mau ditinggal. Kelas tiga, Masmu mulai dekat dengan si Haris. Setiap pagi Haris memanggil-manggil Masmu mengajak berangkat sekolah bareng. Mulai saat itu, Mamak tak lagi mengantar dan menungguinya di sekolah. Sepulang sekolah Mas Tono bermain dengan Haris, kemana-mana selalu bersama. Meski begitu, ternyata Haris membawa dampak buruk untuk Masmu. Haris tak pernah diurus oleh orang tuanya. Tak diajari ngaji dan sekolah. Kalau bolos sekolah dibiarkan saja. Tak mengaji pun didiamkan. Masmu terpengaruh jadi siswa yang malas belajar dan senang bermain. Mamak sudah memberi nasihat dan melarang Masmu bergaul dengan Haris, tapi pengaruh itu sudah terlanjur tertanam kuat. Mungkin karena Mamak dan Bapak orang bodoh sehingga tak mengerti bagaimana cara mendidik anak dengan baik.”
“SMP juga masih dekat sama Mas Haris Mak?” Aku semakin penasaran dengan kisah selanjutnya.
“Si Haris tidak melanjutkan sekolah. Katanya malas. Orang tua Haris tak menghiraukan. Haris jadi anak kampung yang kerjaannya nongkrong di perempatan sambil nunggu muatan genteng. Baginya, itu lebih mengasyikan karena menghasilkan uang. Sedangkan sekolah hanya membuatnya pusing. Masmu didaftarkan oleh Bapak di SMP N 1 Sruweng. Alkhamdulillah diterima. Tapi, Mas Tono kembali seperti TK lagi. Harus dipaksa dulu baru mau berangkat sekolah. Bapak sering mengantar Masmu untuk memastikan sampai di sekolah.
Saat penerimaan rapor, wali kelas mengatakan pada Bapak bahwa Masmu sulit memahami materi yang disampaikan, sehingga tidak menghiraukan saat guru mengajar. Tapi, ada satu pelajaran yang Masmu sukai, Elektro. Menginjak kelas dua kakakmu minta pindah ke Taman Siswa, sekolah yang anak-anaknya terkenal badung. Mungkin Mas Tono merasa tidak nyaman di SMP N 1 Sruweng. Karena mengancam tak mau sekolah kalau tidak pindah, Bapak pun mengurus administrasinya. Di sekolah yang baru, Masmu menemukan pengganti Haris, anak-anak nakal yang malas sekolah. Mas Tono sering bolos dan beberapa kali tidak naik kelas. Rupanya Mas Tono diajak teman-temannya nongkrong di pasar dekat sekolah. Bapak tak pernah lelah bolak-balik menemui kepala sekolah agar Mas Tono bisa naik kelas dan tidak dikeluarkan. Bapak tak ingin anaknya seperti Haris yang kerjaannya nongkrong di perempatan.”
“SMA masih nakal Mak?”
“Kakakmu minta didaftarkan di STM jurusan Elektro. Meski bukan sekolah favorit, Masmu termasuk siswa yang pandai di sana. Guru-guru sering memuji kecepatan Mas Tono dalam memahami materi. Wali kelasnya mengatakan Masmu berbakat di bidang teknik, terutama teknik elektro. Inilah yang membuat Masmu bertahan sekolah di sana. Bapak sempat dibuat bangga. Tapi, lama kelamaan hampir semua barang elektro Mamak rusak karena dibongkar. Masmu langsung mempraktikkan materi yang dia dapat di sekolah. Bapak jadi kesal karena ulah Masmu itu. Namun, Bapak tetap bersabar. Agar Masmu tak mogok sekolah, Bapak turuti semua keinginan Masmu. Minta motor dibelikan. Minta ganti yang terbaru langsung dituruti. Tak disangka semua itu justru membuatnya tidak karuan. Dari rumah pamit ke sekolah, motor-motoran sama teman-temannya. Kalau jatuh atau lecet, Bapak yang urus.”
Mamak terdiam sejenak, menelan ludah, lalu melanjutkan ceritanya.
“Mas Tono lulus dengan NEM rendah. Daftar kerja di mana-mana tidak diterima. Merantau ke Jakarta pun tak membuahkan hasil. Suatu hari, teman Bapak memberi kabar ada lowongan jadi polisi dengan syarat menyerahkan uang lima puluh juta rupiah. Dijamin jadi polisi. Bapak menyanggupi. Dua tahun menunggu dalam ketidakpastian. Ternyata Bapak menjadi korban penipuan. Polisi tidak jadi, uang melayang. Bapak marah, Mas Tono merasa bersalah, dan Mamak tak bisa berbuat apa-apa. Orang bodoh memang mudah ditipu. Itu sebabnya Mamak sering berpesan agar kamu jadi orang pinter biar tak mudah ditipu.”
Mamak menghela nafas.
“Tahun demi tahun berlalu, Masmu belum juga mendapat kerja. Pernah beberapa kali bekerja, tapi tak bertahan lama. Ada yang pabriknya bangkrut, di-PHK, tidak cocok, dan semacamnya. Usia Masmu semakin tua. Yang terakhir, Bapak kembali mendaftarkan Mas Tono kerja, jadi TKI di Jepang. Bapak pikir kali ini bukan tipuan karena Mas Tono sudah diberi pelatihan Bahasa Jepang. Masmu begitu semangat. Dia bilang ingin menebus rasa bersalahnya pada Bapak dan Mamak karena selama ini telah membuat kami susah. Mas Tono merancang beberapa mimpi sepulang dari Jepang nanti. Katanya mau beli mesin cuci biar Mamak gak capek lagi. Mau bangun bengkel motor untuk  mempekerjakan para pengangguran. Mau beli truk untuk jasa angkutan genteng. Juga ingin menaikkan haji Mamak dan Bapak. Mas Tomi terus menunggu waktu pemberangkatan. Tahun berganti, belum juga ada kabar. Sampai suatu hari, Mas Tono nonton berita di televisi tentang himbauan agar masyarakat waspada terhadap maraknya penipuan bermodus pengiriman TKI ke luar negeri. Masmu langsung terdiam lemas, juga Bapak. Sejak saat itu, Masmu semakin menutup diri. Itu terjadi saat kamu masuk SMA, masih ingat?”
“Masih Mak.” Aku hanya tahu tentang penipuan itu.
“Ya. Sejak saat itu Masmu nganggur di rumah. Ketika kumpul dengan tetangga, termasuk si Haris, Masmu selalu disindir. Katanya, buat apa sekolah sampai SMA kalau akhirnya nganggur juga. Masmu semakin tertekan. Di rumah pun tak enak sama Bapak. Mau ikut bantu bertani atau beternak tidak biasa. Salah Mamak mengapa terlalu memanjakan Mas Tono.”
Mamak termenung lagi, cukup lama. Aku memilih diam menunggu curahan hatinya.
“Mas Tono semakin mengurung diri di kamar. Siang tidur, malam begadang, menyibukkan diri dalam lamunan. Masmu merasa sudah terasing dari kehidupan orang-orang di sekelilingnya. Cuma sama Mamak Mas Tono mau bicara. Tapi, Mamak cuma bisa mendoakan. Tiap malam Mamak berdoa untuk Masmu agar diberi ketabahan. Juga untuk kamu agar menjadi anak yang soleh dan pintar. Makanya Mamak pesen sama kamu, sekolah yang bener, belajar yang rajin, jangan seperti Mas Tono.”
***
Ingin rasanya aku melihat senyum tulus dari hati, tawa riang tanda hilangnya beban, semburat keceriaan di wajah mereka, orang-orang yang aku cintai…. Aku harus melakukan sesuatu!





By:
Menik Y. Hartini

No comments:

Post a Comment