Kehidupan itu ibarat
sebuah sekolah tempat melakukan pembelajaran-pembelajaran dan
perbaikan-perbaikan. Sekolah hanya akan melahirkan lulusan terbaik jika para
siswanya mau belajar dengan sungguh-sungguh dan benar-benar mau menilik segala
sisi positif dari hidupnya. Ia yang mampu bangkit pada posisi paling sulit,
kegagalan paling hebat.
(Fathelvi Mudaris dalam
“Untukmu, Wahai Para Pemenang!”, dikutip dari www.eramuslim.com)
Rumahku
sederhana, di desa Sruweng Kabupaten Kebumen. Jauh dari keramaian, sunyi, dan
sejuk. Banyak pepohonan di sekeliling rumahku. Bapak memang hobi berkebun,
bertani, dan beternak. Ada banyak pohon, buah dan sayuran. Mamak jarang beli
sayuran, tinggal memetik di belakang rumah. Ada bayam, terong, pare, dan masih
banyak yang lain.
Di
desaku, banyak yang jadi buruh di pabrik Pak Haji dengan gaji sekitar Rp 15.000/hari
dari pukul 07.00 WIB sampai 16.00 WIB. Orang-orang memanggil Pak Haji karena
beliau sudah naik haji lima kali. Pabrik gentengnya lebih dari sepuluh. Di
desaku, memang banyak yang punya pabrik genteng karena tanah di daerah kami
mengandung lempung (tanah liat) yang sangat baik untuk membuat genteng/batu
bata. Ada yang pabriknya cuma satu, sehingga untung yang didapat hanya cukup
untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang bangkrut di tengah jalan. Ada juga yang
sukses sampai bisa membeli truk. Nah, Pak Haji itulah salah satu pengusaha
genteng paling sukses di desaku. Para pemuda/pemudi yang sudah habis kontrak di
Jakarta atau yang kena PHK biasanya juga jadi buruh Pak Haji, tidak ada pilihan
lain.
Bapak mamak agak berbeda dari orang kebanyakan. Mamak
tidak jadi buruh Pak Haji. Ia lebih fokus mengurus rumah tangga. Gaji pensiunan
bapak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bapak yang hobi bertani, dua kali
setahun panen padi, bisa untuk tambahan biaya kuliah.
Bapak
mamak ingin aku dan kakakku, Mas Tono, sekolah tinggi agar tidak menjadi buruh
Pak Haji. Bahkan, Bapak tak mengijinkan kami membantu bekerja di sawah belakang
rumah. Mamak bilang, “Ngko sikilmu
gatel-gatel, dadi ora mulus.” Sampai dewasa, kami tak pernah membantu
bertani. Apalagi Mas Tono, kakakku itu tidak biasa bekerja kasar karena bapak
mamak berharap dia jadi pegawai kantoran.
Aman
Hartono, nama panjang kakakku. Meski berparas tampan, kakakku bukan tipe lelaki
yang suka pacaran, apalagi sampai gonta-ganti pasangan. Meski terlihat sangar,
sebenarnya dia pemalu, terutama kepada kaum hawa. Saat berhadapan dengan
mereka, Mas Tono lebih banyak diam. Sehingga, mereka menganggap Mas Tono cowok cool…
Karena
sifatnya yang baik dan setia kawan, Mas Tono memiliki banyak teman. Saat berkumpul
bersama mereka, kakakku juga tidak banyak bicara. Dan jika terjadi konflik, ia
selalu mengalah, tak ingin menyakiti siapapun. Meski seseorang menyakiti,
kakakku tidak akan membalas perbuatan orang itu. Sakit yang ia rasakan dipendam
sendiri dalam hati. Jarang dia berbagi beban pikiran dengan keluarga, kecuali
mamak.
Selama
aku SMA, Mas Tono mengantarku berangkat sekolah menggunakan Tiger kesayangannya. Pulang sekolah
kadang dijemput, kadang naik angkot. Tapi, setengah tahun sebelum lulus SMA,
kakakku tidak bisa lagi mengantar sekolah. Dia mengalami depresi teramat dalam
hingga kehilangan gairah hidup. Setiap hari kakakku melamun, pandangan kosong,
pikiran melayang jauh. Ketika aku mengajaknya bicara, ia diam saja. Aku yakin
dia mendengar, tapi lidahnya tak mampu bergerak. Mungkin Mas Tono sangat lelah
menahan beban hidup yang teramat berat.
Pernah
aku marah padanya karena dia tak menghiraukanku bicara. Lalu dia berkata pelan
padaku, “Aku sudah gak punya hati Nick, hatiku hilang.” Aku menangis. Meski tak
tahu apa maksud kalimat itu, tapi aku tak tahan menatap matanya yang redup.
Kakakku masih hidup, tapi jiwanya telah mati. Aku merindukan saat dia meledekku
habis-habisan karena ketahuan dapat surat cinta. Juga saat dia meyakinkanku
ketika pertama kali aku memakai jilbab. Yang paling melekat ingatan adalah masa
kecil yang ku lewati bersamanya…. Aku tak tahan terus melihatnya seperti itu.
Semua
ini berawal pada malam pertama aku masuk kelas tiga SMA. Mas Tono bilang
kepalanya sakit seperti dipukul palu hingga pecah. Mamak menenangkan dan
memijat-mijat kepala kakakku dengan penuh kasih dan air mata yang tertahan.
Sedangkan bapak meminta bantuan Pak Mansyur, guru ngajiku, untuk datang
mendoakan kakakku. Mereka bingung, panik, dan terus berusaha menenangkan Mas
Tono yang terus meraung kesakitan. Ku lihat bapak membantu Pak Mansyur memegang
kepala Mas Tono sambil membacakan doa-doa. Sementara itu, mamak terus membaca
Al-Qur’an dengan suara terisak. Tak lama kemudian, kakakku terlelap tidur. Apa
dia benar-benar tidur? Atau pingsan? Aku tak tahu apa-apa.
Sejak
kejadian malam itu, aku jarang sekali melihat keluargaku tersenyum, terutama
mamak. Sedangkan kakakku diam menyendiri di kamar pengapnya. Tak mau ganti
baju, rambut berantakan, kulit kusam. Saat ku dekati, bau tak sedap menyengat
dari tubuhnya.. Kakakku yang ganteng sudah tak mau mandi.
“Mas,
mandi, biar seger.” Kataku membujuknya.
Tapi,
dia tak menghiraukan keberadaanku. Pernah aku memaksanya bicara, tapi kakakku
malah membentak keras,
“Diam!
Mau aku pukul kamu hah?!” Tubuhku lemas seketika. Kakakku yang tak pernah
berkata kasar, kini membentakku.
Aku
sering memergoki mamak duduk sendiri dengan air mata yang meleleh di pipi
keriputnya. Suatu hari, aku mencoba mendekati mamak yang tengah duduk termenung
sendiri.
“Mak,
sebenarnya kenapa sih, kok Mas Tono jadi seperti itu?” Kataku pelan. Mamak
mulai bercerita panjang lebar, kisah kakakku yang malang. Rupanya mamak ingin
meluapkan beban yang ia rasakan.
“Waktu
TK dulu, Mas Tono tak mau sekolah kalau tidak ditunggui. Mamak harus duduk di
sebelah Mas Tono seperti anak TK, mendengarkan guru mengajar. Kalau Mamak
pergi, Mas Tono nangis, tak mau mengikuti pelajaran. Bapak khawatir Mas Tono
tidak bisa mandiri seperti anak-anak yang lain. Bapak menyuruh Mamak
meninggalkan Mas Tono sendiri di kelas. Bapak bilang Mamak harus tega demi
kebaikan Masmu. Meski khawatir, Mamak menuruti kemauan Bapak. Seperti biasa
Mamak duduk di sebelah Mas Tono, terus Mamak mau beli obat sebentar di warung
dekat sekolah dan akan kembali lagi. Setelah dibujuk secara halus, Mas Tono
mengijinkan Mamak pergi. Baru sebentar Mamak di warung, tukang kebun sekolah memanggil
Mamak. Katanya, Mas Tono meraung-raung histeris karena Mamak pergi. Para guru,
siswa, dan ibu-ibu yang juga menunggu anaknya kebingungan mencari Mamak. Sejak
saat itu, Mamak tak bisa lagi meninggalkan Masmu sendiri.”
“Sekolah
SD juga masih seperti itu Mak?”
“Beruntung
ada si Haris.”
“Mas
Haris tetangga kita itu?”
“Iya.
Saat kelas satu dan dua, Mas Tono masih tak mau ditinggal. Kelas tiga, Masmu
mulai dekat dengan si Haris. Setiap pagi Haris memanggil-manggil Masmu mengajak
berangkat sekolah bareng. Mulai saat itu, Mamak tak lagi mengantar dan
menungguinya di sekolah. Sepulang sekolah Mas Tono bermain dengan Haris,
kemana-mana selalu bersama. Meski begitu, ternyata Haris membawa dampak buruk
untuk Masmu. Haris tak pernah diurus oleh orang tuanya. Tak diajari ngaji dan
sekolah. Kalau bolos sekolah dibiarkan saja. Tak mengaji pun didiamkan. Masmu
terpengaruh jadi siswa yang malas belajar dan senang bermain. Mamak sudah
memberi nasihat dan melarang Masmu bergaul dengan Haris, tapi pengaruh itu
sudah terlanjur tertanam kuat. Mungkin karena Mamak dan Bapak orang bodoh
sehingga tak mengerti bagaimana cara mendidik anak dengan baik.”
“SMP
juga masih dekat sama Mas Haris Mak?” Aku semakin penasaran dengan kisah
selanjutnya.
“Si
Haris tidak melanjutkan sekolah. Katanya malas. Orang tua Haris tak
menghiraukan. Haris jadi anak kampung yang kerjaannya nongkrong di perempatan
sambil nunggu muatan genteng. Baginya, itu lebih mengasyikan karena
menghasilkan uang. Sedangkan sekolah hanya membuatnya pusing. Masmu didaftarkan
oleh Bapak di SMP N 1 Sruweng. Alkhamdulillah diterima. Tapi, Mas Tono kembali
seperti TK lagi. Harus dipaksa dulu baru mau berangkat sekolah. Bapak sering
mengantar Masmu untuk memastikan sampai di sekolah.
Saat
penerimaan rapor, wali kelas mengatakan pada Bapak bahwa Masmu sulit memahami
materi yang disampaikan, sehingga tidak menghiraukan saat guru mengajar. Tapi,
ada satu pelajaran yang Masmu sukai, Elektro. Menginjak kelas dua kakakmu minta
pindah ke Taman Siswa, sekolah yang anak-anaknya terkenal badung. Mungkin Mas
Tono merasa tidak nyaman di SMP N 1 Sruweng. Karena mengancam tak mau sekolah
kalau tidak pindah, Bapak pun mengurus administrasinya. Di sekolah yang baru,
Masmu menemukan pengganti Haris, anak-anak nakal yang malas sekolah. Mas Tono
sering bolos dan beberapa kali tidak naik kelas. Rupanya Mas Tono diajak
teman-temannya nongkrong di pasar dekat sekolah. Bapak tak pernah lelah bolak-balik
menemui kepala sekolah agar Mas Tono bisa naik kelas dan tidak dikeluarkan.
Bapak tak ingin anaknya seperti Haris yang kerjaannya nongkrong di perempatan.”
“SMA
masih nakal Mak?”
“Kakakmu
minta didaftarkan di STM jurusan Elektro. Meski bukan sekolah favorit, Masmu
termasuk siswa yang pandai di sana. Guru-guru sering memuji kecepatan Mas Tono
dalam memahami materi. Wali kelasnya mengatakan Masmu berbakat di bidang
teknik, terutama teknik elektro. Inilah yang membuat Masmu bertahan sekolah di
sana. Bapak sempat dibuat bangga. Tapi, lama kelamaan hampir semua barang
elektro Mamak rusak karena dibongkar. Masmu langsung mempraktikkan materi yang
dia dapat di sekolah. Bapak jadi kesal karena ulah Masmu itu. Namun, Bapak
tetap bersabar. Agar Masmu tak mogok sekolah, Bapak turuti semua keinginan
Masmu. Minta motor dibelikan. Minta ganti yang terbaru langsung dituruti. Tak
disangka semua itu justru membuatnya tidak karuan. Dari rumah pamit ke sekolah,
motor-motoran sama teman-temannya. Kalau jatuh atau lecet, Bapak yang urus.”
Mamak
terdiam sejenak, menelan ludah, lalu melanjutkan ceritanya.
“Mas
Tono lulus dengan NEM rendah. Daftar kerja di mana-mana tidak diterima.
Merantau ke Jakarta pun tak membuahkan hasil. Suatu hari, teman Bapak memberi
kabar ada lowongan jadi polisi dengan syarat menyerahkan uang lima puluh juta
rupiah. Dijamin jadi polisi. Bapak menyanggupi. Dua tahun menunggu dalam ketidakpastian.
Ternyata Bapak menjadi korban penipuan. Polisi tidak jadi, uang melayang. Bapak
marah, Mas Tono merasa bersalah, dan Mamak tak bisa berbuat apa-apa. Orang
bodoh memang mudah ditipu. Itu sebabnya Mamak sering berpesan agar kamu jadi
orang pinter biar tak mudah ditipu.”
Mamak
menghela nafas.
“Tahun
demi tahun berlalu, Masmu belum juga mendapat kerja. Pernah beberapa kali
bekerja, tapi tak bertahan lama. Ada yang pabriknya bangkrut, di-PHK, tidak
cocok, dan semacamnya. Usia Masmu semakin tua. Yang terakhir, Bapak kembali
mendaftarkan Mas Tono kerja, jadi TKI di Jepang. Bapak pikir kali ini bukan
tipuan karena Mas Tono sudah diberi pelatihan Bahasa Jepang. Masmu begitu
semangat. Dia bilang ingin menebus rasa bersalahnya pada Bapak dan Mamak karena
selama ini telah membuat kami susah. Mas Tono merancang beberapa mimpi sepulang
dari Jepang nanti. Katanya mau beli mesin cuci biar Mamak gak capek lagi. Mau
bangun bengkel motor untuk mempekerjakan
para pengangguran. Mau beli truk untuk jasa angkutan genteng. Juga ingin
menaikkan haji Mamak dan Bapak. Mas Tomi terus menunggu waktu pemberangkatan.
Tahun berganti, belum juga ada kabar. Sampai suatu hari, Mas Tono nonton berita
di televisi tentang himbauan agar masyarakat waspada terhadap maraknya penipuan
bermodus pengiriman TKI ke luar negeri. Masmu langsung terdiam lemas, juga
Bapak. Sejak saat itu, Masmu semakin menutup diri. Itu terjadi saat kamu masuk
SMA, masih ingat?”
“Masih
Mak.” Aku hanya tahu tentang penipuan itu.
“Ya.
Sejak saat itu Masmu nganggur di rumah. Ketika kumpul dengan tetangga, termasuk
si Haris, Masmu selalu disindir. Katanya, buat apa sekolah sampai SMA kalau
akhirnya nganggur juga. Masmu semakin tertekan. Di rumah pun tak enak sama
Bapak. Mau ikut bantu bertani atau beternak tidak biasa. Salah Mamak mengapa
terlalu memanjakan Mas Tono.”
Mamak
termenung lagi, cukup lama. Aku memilih diam menunggu curahan hatinya.
“Mas
Tono semakin mengurung diri di kamar. Siang tidur, malam begadang, menyibukkan
diri dalam lamunan. Masmu merasa sudah terasing dari kehidupan orang-orang di
sekelilingnya. Cuma sama Mamak Mas Tono mau bicara. Tapi, Mamak cuma bisa
mendoakan. Tiap malam Mamak berdoa untuk Masmu agar diberi ketabahan. Juga
untuk kamu agar menjadi anak yang soleh dan pintar. Makanya Mamak pesen sama
kamu, sekolah yang bener, belajar yang rajin, jangan seperti Mas Tono.”
***
Ingin
rasanya aku melihat senyum tulus dari hati, tawa riang tanda hilangnya beban,
semburat keceriaan di wajah mereka, orang-orang yang aku cintai…. Aku harus
melakukan sesuatu!
By:
Menik Y. Hartini
No comments:
Post a Comment