Saturday, October 8, 2011

Memaknai Pulang



            Berada jauh dari rumah, terkadang membuat kita menuntut hati dan pikiran untuk kuat pada arti yang sangat dalam. Meskipun ada juga yang memaknainya secara dangkal. Menjadi sebuh kemerdekaan sebagai manusia dewasa.  Sebuah konsekuensi tentang jauh dari rumah. Ada tangis kesepian pada awal langkah. Ada sedih kebingungan tanpa alasan jelas. Yang kita tahu rasanya berada di sebuah tempat berbeda. Asing dengan segalanya.
            Kita sering mengacuhkan hal-hal sederhana dalam hidup. Ibu sedang mempersiapkan makanan untuk anak dan suaminya. Kepayahan yang terjadi hampir setiap hari. Tanpa jeda. Mulai dari berebut dagangan di pasar. Perang harga dengan sang penjual. Sama-sama tidak mau kalah. Sama-sama membawa misi penting tentang keberpenuhan sebuah keluarga. Lebih dari itu. Ini tentang pengabdian soerang ibu kepada anak dan suaminya. Ia sedang memperjuangkan kelegaan dalam hatinya.
            Lalu sang bapak, sejak pagi buta telah bersiap menyambut sebuah hari penuh azzam untuk keluarga tercinta. Ini adalah nafas kehidupan. Memakai setelan seragam kerjanya. Ada yang pakai seragam safari khas PNS. Ada yang terlihat keras karena tuntutan seragam polisi yang mungkin terlanjur dipakai. Mungkin sebenarnya dia adalah pribadi yang jauh dari kata keras. Ada yang seadanya. Sama seperti saat-saat istirahatnya. Mereka menjadikan sikap sebagai seragam kerja mereka. Menjadikan niat sebagai aturan ketat dalam langkah kerjanya. Tapi jauh sebelum itu. Dia telah duduk di sebuah tempat yang disebut rumah. Hanya duduk. Mungkin disamping ranjang sang anak sambil menatap lekat wajah kecil pelita hatinya. Mungkin di kursi ruang tamu sambil minum kopi. Memastikan istri dan anak-anaknya dalam keadaan baik. Melegakan hatinya melihat semangat beraktivitas kita. Mau apapun itu. Sesungguhnya bapak kita sedang memupuk dan menjaga cinta dan nafas kehidupannya dan kita.
            Hubungan yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan mudah ataupun dengan berhasil. Terkadang sebagian orang dengan mudah menjelaskan, tapi yang tertangkap hanyalah makna di permukaan. Tanpa rasa. Bukankah menjelaskan itu bukan hanya menyampaikan tapi juga sebuah keberhasilan memahamkan secara dalam. Memaknai sebuah keluarga. Menjelaskan keterkaitan antara bapak, ibu dan anak-anak dalam sebuah keluarga. Sulit kujelaskan.
            Semester dua dalam perjuangan kuliahku. Seingatku itu hari jum’at. Entah dari pagi atau tidak, tapi rasa-rasanya aku terus berkutat di kampus. Dari satu mata kuliah hingga mata kuliah yang lain. Dari mimpi yang satu sampai mimpi yang lain. Tentunya di kursi yang berbeda. Sampai sore. Sudah sekitar jam setengah empat sore. Aku baru selesai kuliah. Dan lagi-lagi aku tertidur di kelas. Sepulang kuliah, aku berjalan sendirian menuju kos. Terasa sepi sekali. Ada yang harus kucari.
            Pulang. Sepanjang jalan menuju kos, yang terpikir hanya pulang. Apa itu pulang. Kemanakah harusnya aku pulang. Untuk apa pulang. Adakah yang penting. Sepi. Sepi sekali jalanku pulang waktu itu. Ada yang kurang. Terasa ada yang kurang.
            Sesampainya di kos, seperti biasa masih sepi. Kosku, Elqowi, adalah gudang orang-orang luar biasa. Bagiku, mereka adalah inspirasi. Kusegerakan Shalat Ashar sendirian di kamarku. Sayangnya aku sudah tertinggal jamaah Shalat Ashar di Elqowi. Shalat itu memang obat hati. Akhirnya aku hanya diam di kamar. Masih berpikir tentang pulang. Aku sudah pulang. Sudah tidak di kampus lagi. Sudah bisa beristirahat di kamar pribadi. Tapi masih terasa aneh. Ada yang tidak beres.
            Kugapai ransel hitam. Beberapa barang kemasukkan dalam tas. Setelah siap yang kuperlukan. Bismillah. Aku pulang. Pulang dalam makna yang lebih dalam. Pulang sebagaimana kebutuhan hati. Sebuah perjalanan demi kelegaan atas rasa rindu. Akhirnya kuputuskan untuk pulang ke rumah. Pulang ke Ponorogo. Pulang tanpa rencana.
            Mengikuti kata hati. Sepenuhnya itu yang kujalani. Hanya sekedar mengikuti kata hati. Bagi orang lain akan nampak terlalu memaksa. Apalagi bagi akhwat karena jika pulang berangkat daro Jogja sore, maka aku akan sampai di Ponorogo tengah malam. Tapi dalam pikiranku. itulah satu-satunya jalan keluar. Merasa perlu menatap langsung wajah-wajah keluargaku. Aku tidak punya pilihan lain. Terkadang selalu saja ada keinginan seperti ini. Meski pada alasan yang kurang jelas. Mungkin tidak masuk akal. Tapi sesampai di rumah lalu menatap wajah satu per satu keluarga kita, itu sudah cukup. Bahkan meski setelahnya harus balik badan dan pergi lagi. Maka  hal menatap tadi telah menjadi energi besar untuk melangkah meninggalkan rumah kembali. Melanjutkan sekian aktivitas di manapun amanah kita pada hidup.
            Tanpa perencanaan aku pulang. Sudah hampir jam 17:00. Ada tiga bis yang harus kukejar demi kepulanganku. Dari Elqowi di Karang Malang, aku harus berjalan sekitar lima menir hingga Jalan Gejayan. Sebuah jalan yang lebih tepat disebut padat penuh, dari pada sekedar ramai. Untuk menyeberang saja aku butuh waktu yang cukup lama. Ditambah jam sore. Mungkin orang-orang sedang bergegas pulang. Sama sepertiku. Bergegas pulang. Pembedanya hanya perkara jarak. Tapi rasa yang menaunginya sama. Sudah sore seperti itu, semoga masih ada bis jalur 7. Itulah jalur bis yang akan mengantarkanku sampai di Terminal Giwangan. Menanti dan menanti. Kakiku dari tadi tak bias diam. Cemas menanti kedatangan bis penting. Kalau sudah tidak ada, terpaksa aku harus naik bis Trans Jogja yang jalurnya memutar. Akan butuh waktu lebih lama. Entah kaki, atau jantung. Semuanya berasa tidak tenang. Dimana gerangan bis yang akan menjadi jalanku pulang. Kenapa tak juga kunjung datang. Tak taukah dia, aku mau pulang.
            Sudah lewat jam lima sore. Harapanku menipis. Kuputuskan berjalan kearah halte trans jogja terdekat. Lama berjalan, aku cemas. Tidak bisakah aku pulang hari ini. Aku berjalan anatara putus ada dan memaksa. Karena kalau tidak begini, lantas bagaimana lagi caraku pulang. Berkali-kali kepalaku menengok. Adakah bis jalur 7 yang lewat. Nampak dikajuahan, terhalang mobil dan motor di depannya. Ada. Akhirnya datang juga. Semangatku naik lagi. Senyumku mungkin seolah sudah melihat gapura masuk kabuaten Ponorogo. Alhamdulillah, jadi pulang. Ya, aku jadi pulang.
            Perjalanan ke Terminal Giwangan pun cukup menyita waktu. Sekitar setengah jam lebih baru bisa sampai di terminal. Itupun kalau tidak ada ritual macet. Biasalah. Kota besar kalau belum macet, ya bukan kota besar. Ritual yang menjadi masalah bagi manusia padahal yang membuat ya manusia sendiri. Memang yang begitulah yang menjadikan manusia istimewa. Manusia istimewa karena ketidak sempurnaannya. Meskipun sering kita dengar, manusia adalah ciptaan yang paling sempurna. Benar sekali. Sempurna pada taraf manusia dengan segala ketidaksempurnaannya. Alhamdulillah, sore itu setelah penantian yang hampir menyisakan sedih, Allah memudahkan jalan ke terminal. Tidak ada ritual kota besar. Lancar sepanjang jalan. Hanya ada beberapa lampu merah mengenai bis yang kunaiki. Ada yang lucu pada lampu merah di kota Jogja. Mungkin di kota besar lain di Indonesia juga ada hal seperti ini. Lama waktu untuk lampu merah bisa lebih dari 70 detik, tapi lampu hijaunya hanya sekitar 20 detik. Misalnya saja antrian kendaraan karena lampu merahnya panjang. Seketika ada lampu hijau, yang ada adalah konser perang antar klakson mobil dan motor yang dibelakang mau maju kedepan. Antrian yang panjang dan waktu untuk lampu hijau hanya sebentar, terkadang mobil dan motor yang ada di antrian belakang akan terjebak lampu merah selanjutnya. Hanya untuk melalui batas jalan atas tiga lampu yang berkuasa atas jalan di kota besar, adalah suatu hal yang sulit. Bisa membuat geregetan pengguna jalan.
            Aku masih berdamai dengan bis yang kunaiki. Duduk  di dekat jendela. Menatap keluar. Rumah-rumah berjejal. Tidak ada taman luas depan rumah. Tidak ada halaman rumput hijau untuk bermain adek-adek kecil. Tidak seperti depan rumahku. Luas. Hijau. Karena aku pun tidak hafal jalanan Jogja, sebenarnya masih berapa jauh tempat yang kutuju. Semakin resah saja. Jam berapa nanti aku sampai di rumah. Pasti akan sangat larut.
            Selain berjalan secepat yang kubisa, tidak ada hal lain dalam otakku. Turun dari bis jalur 7, aku langsung masuk terminal. Secepat yang kubisa, aku menuju tempat bis menuju Madiun. Bis ke-2 yang mengantarku pulang. Lalu perjalanan demi kelegaan atas rasa rindu pun dimulai. 5-6 jam duduk dalam bis. Perkara naik nis pun agak ribet untuk akhwat. Harus pintar-pintar mensiasati. Bisa duduk dengan makhluk yang bernama perempuan, itulah misi utama ketika aku naik bis.
            Sepanjang perjalanan pulang. Menatap lampu-lampu di tepi jalan, di depan rumah, di took-toko, sampai jauh di pelataran gunung nun jauh disana. Bis ke-2 ini, alhamdulillah tidak terlalu penuh. Aku masih bisa mengambil tempat duduk untuk dua orang. Namun hanya kugunakan sendiri. Satu untukku. Satu untuk ransel hitamku. Kalau sudah sering naik bis ini, mungkin tidak akan ada kesan tersendiri. Namun bagi pelanggan baru, rasa-rasanya acara naik bis adalah komplikasi keribetan yang luar biasa bagi akhwat. Akan butuh bab tersendiri untuk membahasnya.
            5 jam lebih. Dari sadar-tidur-bangun-tertidur-terbangun, dan akhirnya dibangunkan petugas penarik karcis. Menyampaikan berita menyenangkan. Aku telah tiba di Terminal Purbaya, Madiun. Membenarkan letak jilbabku dan kugendong kembali ransel hitam yang baru kesadari ternyata cukup berat. Aku lupa. Sepertinya selain barang-barang yang kubutuhkan untuk pulang, buku-buku kuliahku tadi siang masih ada di dalamnya. Lengkap dengan kamus bahasa inggris versi tebal yang biasanya dijual di toko-toko buku. Bapakku pasti bangga melihat buku-buku ini. Kesannya aku belajar hal yang sangat luar biasa. “Bukunya saja tebal-tebal. Apalagi kuliahnya. Pasti luar biasa”, mungkin ini yang akan dikatakan bapak ketika melihat isi ransel hitamku.
            Allah senantiasa bermurah hati padaku. Dia senantiasa melindungiku. Kalau di kampus, aku terpaksa pulang malam, akan ada teman ikhwan atau takmir masjid kampus yang akan mengantarku pulang dan memastikan aku masuk kos dengan selamat. Tapi di dunia luar, Allah tidak pernah letih menemaniku. Pulang sendirian dengan jilbab selebar taplak meja. Itu kata salah satu adek di kampus. Hanya bermodal baju yang kupakai kuliah tadi siang dan ransel hitam penuh perangkat perjuangan di kampus. Tanpa jaket. Biasanya kan kalau akhwat keluar malam pakai jaket. Untuk menutup penampilan. Bagi akhwat keluar malam adalah hal yang kalau masih bisa dihindari, maka pasti dihindari. Namun kali ini, aku pulang tanpa banyak persiapan. Seadanya. Dan selaksa rindu atas bapak serta keluargaku. Itu yang kubawa.
            Jam sepuluh malam lebih. Aku masih menanti kedatangan bis ke-3 yang mengantarku pulang. Bis rute Madiun-Ponorogo atau Surabaya-Ponorogo. aku menantikannya dipinggiran jalan dalam terminal. Setauku sampai jam satu malam pun bis rute itu masih ada. Ini masih jam sepuluhan. Insyaallah segera kuhirup bau Ponorogo. Bumi sejarahku. Hampir setengah jam aku menanti. Hanya duduk di pinggiran jalan. Terminal ini masih hidup. Ibu-ibu penjual pecel madiun masih lincah melayani para pembeli yang kebanyakan karyawan bis antar kota, antar provinsi, tukang ojek terminal, penumpang yang kemalaman dan kelaparan, juga manusia-manusia tanpa tujuan, selain uang. Ada yang sekedar pakai baju mini super irit. Berdiri jauh disana. Disudut gelap Terminal Purbaya. Disudut remang dunia. Melihat dari kegelapan tanpa mau sedikit keluar. Merasakan terang yang terkadang memang menyengat. Tapi terang selalu membuat manusia melihat dengan jelas. Ada adek-adek kecil seniman dunia. Nyanyiannya terkadang menyayat haru penumpang-punumpang bis. Apakah mereka masih punya keluarga. Ataukah masih mencari keluarga dan masa depan. Sesekali kudengar candaan mereka tentang hal-hal tabu khas orang dewasa. Miris.
            Di pinggiran jalan dalam Terminal Purbaya, dimanakah bis yang kunanti. Tak juga kunjung terlihat dari belokan jalan masuk terminal. Hampir setengah area terminal gelap. Hanya ada lampu di bagian bis menurunkan penumpang dan di runag tunggu dekat ruko-ruko pedagang terminal. Tempatku duduk dekarang pun remang-remang saja. Perempuan dengan jilbab selebar taplak duduk sendirian. Sebentar-sebentar menengok ke kanan. Sebentar-sebentar menengok kekiri. Lelah menanti. Kutengadahkan wajah keatas. Ingat mereka yang begitu cantik diatas sana. Panggung terindah yang Allah masih bermurah hari memperlihatkan pada kita setiap malam. Masih duduk di pinggiran jalan. Kaki yang tadinya kutekuk dan kupeluk demi membiaskan dinginnnya Madiun malam itu, sekarang kuluruskan. Kedua tangan yang letih tanpa alasan pun kuarahkan kebelakang. Duduk bersandar tangan yang lelah. Dan lihatlah, diatas sana. Cantik. Ribuan mata malaikat sedang menatapku lekat. Terkadang terpikir. Mungkin saja Allah punya ember berisi bintang-bintang lalu Ia menaburkannya di langit malam. Mereka semua berserakan diatasku. Suasana seperti ini akan sulit kudapatkan di kota besar seperti Jogja. Entah berapa lama aku diam menatap mereka. Mau berapa lamapun, bintang-bintang itu terus bertambah cantik. Tidak pernah terpikir bosan sekedar melihatnya.
            Tiba-tiba sorot lampu terang menyinari tempatku duduk. Bis ke-3 telah datang. Bis yang akan mengantarku pulang. Terburu aku berdiri lalu naik ke bis. Bis terakhir sebelum kucium hawa Ponorogo. Hawa rumah. Satu jam lagi pak. Insyaallah. Aku pulang. Segera ku kirim pesan ke handphone bapakku. Seperti biasa, Bapak akan menjemputku. Ditempat yang sama. Di pinggir sebuah perempatan sebelum masuk Terminal Selo Aji, Ponorogo. bapak akan berdiri dengan ekspresi dingin menanti aku turun dari sebuah bis.
            Detik itu datang. Aku turun. Dengan penampilan lusuh. Dengan baju kuliah dan buku-buku kuliah tadi siang yang setia melekat di badan. Dengan rindu yang akhirnya bermuara ketika kucium punggung tangan Beliau. Perjalanan panjang. Anak perempuan di tanah perantauan. Mengikuti kata hati. Sepenuhnya itu yang kujalani. Hanya sekedar mengikuti kata hati. Hampir jam satu malam. Telah kubayar tuntas letih dan rindu itu. Demi menatap langsung wajah teduh keluargaku. Dan lega menjadi muaranya. Mungkin bagi kita pulang adalah hal biasa. Tapi sadarilah, rasa syukur untuk berkumpul bersama keluarga, menjadi hal yang tidak mengenal sia-sia. Apalagi terganti. Maka hari ini, dari manapun, tanpa mengenal bilangan jarak, pulanglah dengan penuh rasa syukur ketika setiap wajah teduh dalam rumah kita menyambut kepulangan kita.
           

By;   Aprida Nur Riya Susanti
Juara I Lomba Menulis Kisah Inspiratif

1 comment: