Berada
jauh dari rumah, terkadang membuat kita menuntut hati dan pikiran untuk kuat
pada arti yang sangat dalam. Meskipun ada juga yang memaknainya secara dangkal.
Menjadi sebuh kemerdekaan sebagai manusia dewasa. Sebuah konsekuensi tentang jauh dari rumah.
Ada tangis kesepian pada awal langkah. Ada sedih kebingungan tanpa alasan
jelas. Yang kita tahu rasanya berada di sebuah tempat berbeda. Asing dengan
segalanya.
Kita
sering mengacuhkan hal-hal sederhana dalam hidup. Ibu sedang mempersiapkan
makanan untuk anak dan suaminya. Kepayahan yang terjadi hampir setiap hari.
Tanpa jeda. Mulai dari berebut dagangan di pasar. Perang harga dengan sang
penjual. Sama-sama tidak mau kalah. Sama-sama membawa misi penting tentang
keberpenuhan sebuah keluarga. Lebih dari itu. Ini tentang pengabdian soerang
ibu kepada anak dan suaminya. Ia sedang memperjuangkan kelegaan dalam hatinya.
Lalu
sang bapak, sejak pagi buta telah bersiap menyambut sebuah hari penuh azzam untuk keluarga tercinta. Ini
adalah nafas kehidupan. Memakai setelan seragam kerjanya. Ada yang pakai
seragam safari khas PNS. Ada yang terlihat keras karena tuntutan seragam polisi
yang mungkin terlanjur dipakai. Mungkin sebenarnya dia adalah pribadi yang jauh
dari kata keras. Ada yang seadanya. Sama seperti saat-saat istirahatnya. Mereka
menjadikan sikap sebagai seragam kerja mereka. Menjadikan niat sebagai aturan
ketat dalam langkah kerjanya. Tapi jauh sebelum itu. Dia telah duduk di sebuah
tempat yang disebut rumah. Hanya duduk. Mungkin disamping ranjang sang anak
sambil menatap lekat wajah kecil pelita hatinya. Mungkin di kursi ruang tamu
sambil minum kopi. Memastikan istri dan anak-anaknya dalam keadaan baik.
Melegakan hatinya melihat semangat beraktivitas kita. Mau apapun itu. Sesungguhnya
bapak kita sedang memupuk dan menjaga cinta dan nafas kehidupannya dan kita.
Hubungan
yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan mudah ataupun dengan berhasil.
Terkadang sebagian orang dengan mudah menjelaskan, tapi yang tertangkap
hanyalah makna di permukaan. Tanpa rasa. Bukankah menjelaskan itu bukan hanya
menyampaikan tapi juga sebuah keberhasilan memahamkan secara dalam. Memaknai
sebuah keluarga. Menjelaskan keterkaitan antara bapak, ibu dan anak-anak dalam
sebuah keluarga. Sulit kujelaskan.
Semester
dua dalam perjuangan kuliahku. Seingatku itu hari jum’at. Entah dari pagi atau
tidak, tapi rasa-rasanya aku terus berkutat di kampus. Dari satu mata kuliah
hingga mata kuliah yang lain. Dari mimpi yang satu sampai mimpi yang lain.
Tentunya di kursi yang berbeda. Sampai sore. Sudah sekitar jam
setengah empat sore. Aku baru
selesai kuliah. Dan lagi-lagi aku tertidur di kelas. Sepulang kuliah, aku
berjalan sendirian menuju kos. Terasa sepi sekali. Ada yang harus kucari.
Pulang.
Sepanjang jalan menuju kos, yang terpikir hanya pulang. Apa itu pulang.
Kemanakah harusnya aku pulang. Untuk apa pulang. Adakah yang penting. Sepi.
Sepi sekali jalanku pulang waktu itu. Ada yang kurang. Terasa ada yang kurang.
Sesampainya
di kos, seperti biasa masih sepi. Kosku, Elqowi, adalah gudang orang-orang luar
biasa. Bagiku, mereka adalah inspirasi. Kusegerakan Shalat Ashar sendirian di
kamarku. Sayangnya aku sudah tertinggal jamaah Shalat Ashar di Elqowi. Shalat itu memang obat hati. Akhirnya aku hanya
diam di kamar. Masih berpikir tentang pulang. Aku sudah pulang. Sudah tidak di
kampus lagi. Sudah bisa beristirahat di kamar pribadi. Tapi masih terasa aneh.
Ada yang tidak beres.
Kugapai
ransel hitam. Beberapa barang kemasukkan dalam tas. Setelah siap yang
kuperlukan. Bismillah. Aku pulang.
Pulang dalam makna yang lebih dalam. Pulang sebagaimana kebutuhan hati. Sebuah
perjalanan demi kelegaan atas rasa rindu. Akhirnya kuputuskan untuk pulang ke
rumah. Pulang ke Ponorogo. Pulang tanpa rencana.
Mengikuti
kata hati. Sepenuhnya itu yang kujalani. Hanya sekedar mengikuti kata hati.
Bagi orang lain akan nampak terlalu memaksa. Apalagi bagi akhwat karena jika pulang berangkat daro Jogja sore, maka aku akan
sampai di Ponorogo tengah malam. Tapi dalam pikiranku. itulah satu-satunya
jalan keluar. Merasa perlu menatap langsung wajah-wajah keluargaku. Aku tidak
punya pilihan lain. Terkadang selalu saja ada keinginan seperti ini. Meski pada
alasan yang kurang jelas. Mungkin tidak masuk akal. Tapi sesampai di rumah lalu
menatap wajah satu per satu keluarga kita, itu sudah cukup. Bahkan meski
setelahnya harus balik badan dan pergi lagi. Maka hal menatap tadi telah menjadi energi besar
untuk melangkah meninggalkan rumah kembali. Melanjutkan sekian aktivitas di
manapun amanah kita pada hidup.
Tanpa
perencanaan aku pulang. Sudah hampir jam 17:00. Ada tiga bis yang harus kukejar
demi kepulanganku. Dari Elqowi di Karang Malang, aku harus berjalan sekitar
lima menir hingga Jalan Gejayan. Sebuah jalan yang lebih tepat disebut padat
penuh, dari pada sekedar ramai. Untuk menyeberang saja aku butuh waktu yang
cukup lama. Ditambah jam sore. Mungkin orang-orang sedang bergegas pulang. Sama
sepertiku. Bergegas pulang. Pembedanya hanya perkara jarak. Tapi rasa yang
menaunginya sama. Sudah sore seperti itu, semoga masih ada bis jalur 7. Itulah
jalur bis yang akan mengantarkanku sampai di Terminal Giwangan. Menanti dan
menanti. Kakiku dari tadi tak bias diam. Cemas menanti kedatangan bis penting.
Kalau sudah tidak ada, terpaksa aku harus naik bis Trans Jogja yang jalurnya
memutar. Akan butuh waktu lebih lama. Entah kaki, atau jantung. Semuanya berasa
tidak tenang. Dimana gerangan bis yang akan menjadi jalanku pulang. Kenapa tak
juga kunjung datang. Tak taukah dia, aku mau pulang.
Sudah
lewat jam lima sore.
Harapanku menipis. Kuputuskan berjalan kearah halte trans jogja terdekat. Lama
berjalan, aku cemas. Tidak bisakah aku pulang hari ini. Aku berjalan anatara
putus ada dan memaksa. Karena kalau tidak begini, lantas bagaimana lagi caraku
pulang. Berkali-kali kepalaku menengok. Adakah bis jalur 7 yang lewat. Nampak
dikajuahan, terhalang mobil dan motor di depannya. Ada. Akhirnya datang juga.
Semangatku naik lagi. Senyumku mungkin seolah sudah melihat gapura masuk
kabuaten Ponorogo. Alhamdulillah,
jadi pulang. Ya, aku jadi pulang.
Perjalanan
ke Terminal Giwangan pun cukup menyita waktu. Sekitar setengah jam lebih baru
bisa sampai di terminal. Itupun kalau tidak ada ritual macet. Biasalah. Kota
besar kalau belum macet, ya bukan kota besar. Ritual yang menjadi masalah bagi
manusia padahal yang membuat ya manusia sendiri. Memang yang begitulah yang
menjadikan manusia istimewa. Manusia istimewa karena ketidak sempurnaannya.
Meskipun sering kita dengar, manusia adalah ciptaan yang paling sempurna. Benar
sekali. Sempurna pada taraf manusia dengan segala ketidaksempurnaannya. Alhamdulillah, sore itu setelah
penantian yang hampir menyisakan sedih, Allah memudahkan jalan ke terminal.
Tidak ada ritual kota besar. Lancar sepanjang jalan. Hanya ada beberapa lampu
merah mengenai bis yang kunaiki. Ada yang lucu pada lampu merah di kota Jogja.
Mungkin di kota besar lain di Indonesia juga ada hal seperti ini. Lama waktu
untuk lampu merah bisa lebih dari 70 detik, tapi lampu hijaunya hanya sekitar
20 detik. Misalnya saja antrian kendaraan karena lampu merahnya panjang.
Seketika ada lampu hijau, yang ada adalah konser perang antar klakson mobil dan
motor yang dibelakang mau maju kedepan. Antrian yang panjang dan waktu untuk
lampu hijau hanya sebentar, terkadang mobil dan motor yang ada di antrian
belakang akan terjebak lampu merah selanjutnya. Hanya untuk melalui batas jalan
atas tiga lampu yang berkuasa atas jalan di kota besar, adalah suatu hal yang
sulit. Bisa membuat geregetan pengguna jalan.
Aku
masih berdamai dengan bis yang kunaiki. Duduk di dekat jendela. Menatap keluar. Rumah-rumah
berjejal. Tidak ada taman luas depan rumah. Tidak ada halaman rumput hijau
untuk bermain adek-adek kecil. Tidak seperti depan rumahku. Luas. Hijau. Karena
aku pun tidak hafal jalanan Jogja, sebenarnya masih berapa jauh tempat yang
kutuju. Semakin resah saja. Jam berapa nanti aku sampai di rumah. Pasti akan
sangat larut.
Selain
berjalan secepat yang kubisa, tidak ada hal lain dalam otakku. Turun dari bis
jalur 7, aku langsung masuk terminal. Secepat yang kubisa, aku menuju tempat
bis menuju Madiun. Bis ke-2 yang mengantarku pulang. Lalu perjalanan demi
kelegaan atas rasa rindu pun dimulai. 5-6 jam duduk dalam bis. Perkara naik nis
pun agak ribet untuk akhwat. Harus
pintar-pintar mensiasati. Bisa duduk dengan makhluk yang bernama perempuan,
itulah misi utama ketika aku naik bis.
Sepanjang
perjalanan pulang. Menatap lampu-lampu di tepi jalan, di depan rumah, di
took-toko, sampai jauh di pelataran gunung nun jauh disana. Bis ke-2 ini, alhamdulillah tidak terlalu penuh. Aku
masih bisa mengambil tempat duduk untuk dua orang. Namun hanya kugunakan
sendiri. Satu untukku. Satu untuk ransel hitamku. Kalau sudah sering naik bis
ini, mungkin tidak akan ada kesan tersendiri. Namun bagi pelanggan baru,
rasa-rasanya acara naik bis adalah komplikasi keribetan yang luar biasa bagi akhwat. Akan butuh bab tersendiri untuk
membahasnya.
5 jam
lebih. Dari sadar-tidur-bangun-tertidur-terbangun, dan akhirnya dibangunkan
petugas penarik karcis. Menyampaikan berita menyenangkan. Aku telah tiba di
Terminal Purbaya, Madiun. Membenarkan letak jilbabku dan kugendong kembali
ransel hitam yang baru kesadari ternyata cukup berat. Aku lupa. Sepertinya
selain barang-barang yang kubutuhkan untuk pulang, buku-buku kuliahku tadi
siang masih ada di dalamnya. Lengkap dengan kamus bahasa inggris versi tebal
yang biasanya dijual di toko-toko buku. Bapakku pasti bangga melihat buku-buku
ini. Kesannya aku belajar hal yang sangat luar biasa. “Bukunya saja tebal-tebal. Apalagi kuliahnya. Pasti luar biasa”, mungkin
ini yang akan dikatakan bapak ketika melihat isi ransel hitamku.
Allah
senantiasa bermurah hati padaku. Dia senantiasa melindungiku. Kalau di kampus,
aku terpaksa pulang malam, akan ada teman ikhwan
atau takmir masjid kampus yang akan mengantarku pulang dan memastikan aku masuk
kos dengan selamat. Tapi di dunia luar, Allah tidak pernah letih menemaniku. Pulang
sendirian dengan jilbab selebar taplak meja. Itu kata salah satu adek di
kampus. Hanya bermodal baju yang kupakai kuliah tadi siang dan ransel hitam
penuh perangkat perjuangan di kampus. Tanpa jaket. Biasanya kan kalau akhwat keluar malam pakai jaket. Untuk
menutup penampilan. Bagi akhwat
keluar malam adalah hal yang kalau masih bisa dihindari, maka pasti dihindari.
Namun kali ini, aku pulang tanpa banyak persiapan. Seadanya. Dan selaksa rindu
atas bapak serta keluargaku. Itu yang kubawa.
Jam
sepuluh malam lebih. Aku masih menanti kedatangan bis ke-3 yang mengantarku
pulang. Bis rute Madiun-Ponorogo atau Surabaya-Ponorogo. aku menantikannya
dipinggiran jalan dalam terminal. Setauku sampai jam satu malam pun bis rute
itu masih ada. Ini masih jam sepuluhan. Insyaallah
segera kuhirup bau Ponorogo. Bumi sejarahku. Hampir setengah jam aku menanti.
Hanya duduk di pinggiran jalan. Terminal ini masih hidup. Ibu-ibu penjual pecel
madiun masih lincah melayani para pembeli yang kebanyakan karyawan bis antar
kota, antar provinsi, tukang ojek terminal, penumpang yang kemalaman dan
kelaparan, juga manusia-manusia tanpa tujuan, selain uang. Ada yang sekedar
pakai baju mini super irit. Berdiri jauh disana. Disudut gelap Terminal
Purbaya. Disudut remang dunia. Melihat dari kegelapan tanpa mau sedikit keluar.
Merasakan terang yang terkadang memang menyengat. Tapi terang selalu membuat
manusia melihat dengan jelas. Ada adek-adek kecil seniman dunia. Nyanyiannya
terkadang menyayat haru penumpang-punumpang bis. Apakah mereka masih punya
keluarga. Ataukah masih mencari keluarga dan masa depan. Sesekali kudengar
candaan mereka tentang hal-hal tabu khas orang dewasa. Miris.
Di
pinggiran jalan dalam Terminal Purbaya, dimanakah bis yang kunanti. Tak juga
kunjung terlihat dari belokan jalan masuk terminal. Hampir setengah area
terminal gelap. Hanya ada lampu di bagian bis menurunkan penumpang dan di runag
tunggu dekat ruko-ruko pedagang terminal. Tempatku duduk dekarang pun
remang-remang saja. Perempuan dengan jilbab selebar taplak duduk sendirian.
Sebentar-sebentar menengok ke kanan. Sebentar-sebentar menengok kekiri. Lelah
menanti. Kutengadahkan wajah keatas. Ingat mereka yang begitu cantik diatas
sana. Panggung terindah yang Allah masih bermurah hari memperlihatkan pada kita
setiap malam. Masih duduk di pinggiran jalan. Kaki yang tadinya kutekuk dan
kupeluk demi membiaskan dinginnnya Madiun malam itu, sekarang kuluruskan. Kedua
tangan yang letih tanpa alasan pun kuarahkan kebelakang. Duduk bersandar tangan
yang lelah. Dan lihatlah, diatas sana. Cantik. Ribuan mata malaikat sedang
menatapku lekat. Terkadang terpikir. Mungkin saja Allah punya ember berisi
bintang-bintang lalu Ia menaburkannya di langit malam. Mereka semua berserakan
diatasku. Suasana seperti ini akan sulit kudapatkan di kota besar seperti
Jogja. Entah berapa lama aku diam menatap mereka. Mau berapa lamapun,
bintang-bintang itu terus bertambah cantik. Tidak pernah terpikir bosan sekedar
melihatnya.
Tiba-tiba
sorot lampu terang menyinari tempatku duduk. Bis ke-3 telah datang. Bis yang
akan mengantarku pulang. Terburu aku berdiri lalu naik ke bis. Bis terakhir
sebelum kucium hawa Ponorogo. Hawa rumah. Satu
jam lagi pak. Insyaallah. Aku pulang. Segera ku kirim pesan ke handphone bapakku. Seperti biasa, Bapak
akan menjemputku. Ditempat yang sama. Di pinggir sebuah perempatan sebelum
masuk Terminal Selo Aji, Ponorogo. bapak akan berdiri dengan ekspresi dingin
menanti aku turun dari sebuah bis.
Detik
itu datang. Aku turun. Dengan penampilan lusuh. Dengan baju kuliah dan buku-buku
kuliah tadi siang yang setia melekat di badan. Dengan rindu yang akhirnya
bermuara ketika kucium punggung tangan Beliau. Perjalanan panjang. Anak
perempuan di tanah perantauan. Mengikuti kata hati. Sepenuhnya itu yang
kujalani. Hanya sekedar mengikuti kata hati. Hampir jam satu malam. Telah kubayar tuntas letih dan rindu
itu. Demi menatap langsung wajah teduh keluargaku. Dan lega menjadi muaranya. Mungkin bagi kita pulang
adalah hal biasa. Tapi sadarilah, rasa syukur untuk berkumpul bersama keluarga,
menjadi hal yang tidak mengenal sia-sia. Apalagi terganti. Maka hari ini, dari
manapun, tanpa mengenal bilangan jarak, pulanglah dengan penuh rasa syukur
ketika setiap wajah teduh dalam rumah kita menyambut kepulangan kita.
By; Aprida Nur Riya Susanti
Juara I Lomba Menulis Kisah Inspiratif
Subhanalloh..
ReplyDelete:_)